Suamiku Ber Isteri Jin
Kalau
saja kenyataan ini tidak terjadi di hadapanku dan menimpa suamiku
sendiri, niscaya aku takkan pernah bisa mempercayainya. Ya, bagaimana
aku bisa percaya karena semua ini sungguh terjadi di luar batas logika.
Karena keanehan ini pula aku bagaikan terasing dari suami yang dulu
sangat mencintaiku.
“Maafkan Abang, Yati! Abang belum mendapatkan izin untuk menyentuh tubuhmu,” begitulah yang dikatakan oleh Bang Marsan, suamiku, setiap kali aku merengek meminta kemanjaan darinya.
Malangnya
aku ini. Kalau tak salah hitung dan salah ingat, rasanya sudah hampir
setahun kenyataan pahit dan menyesakkan ini terjadi. Bang Marsan yang
dulu selalu bergairah mendadak seperti kehilangan gairahnya terhadap
diriku. Dia tak mau lagi menyentuh tubuhku. Jangankan untuk mencumbuku,
bahkan setiap malam aku dibiarkan kedinginan sendirian. Bang Marsan
terus sibuk dengan ritualnya yang aneh itu. Belakangan, kepribadian Bang
Marsan yang malah total berubah penuh keanehan. Aku sampai-sampai
seperti tak mengenal lagi siapa dirinya. Jangankan untuk meminta
kemanjaan darinya, bahkan untuk mendekatinya saja aku sudah tak sudi
lagi.
Dari dalam kamar khusus yang dipersiapkannya itu, beberapa
kali kudengar suara Bang Marsan yang terengah-engah seperti seorang
(maaf) yang sedang memacu birahi. Pada awalnya, kenyataan ini sudah
barang tentu membuatku cemburu. Akupun bertanya dalam batinku sendiri,
“Apakah karena ini Bang Marsan enggan untuk bercumbu denganku?”
Sebagai
perempuan normal yang tidak menginginkan suaminya jatuh ke dalam
pelukan wanita lain, sudah barang tentu karena suara-suara birahi itu
maka aku membayangkan hal-hal menjijikan sekaligus menyakitkan. Betapa
dalam benakku tergambar bagaimana gairah Bang Marsan mencumbu perempuan
yang wajah serta bentuk tubuhnya hanya ada dalam bayanganku itu. Aku
selalu berusaha keras membunuh kecurigaanku. Kuyakinkan diriku bahwa
Bang Marsan tak pernah melacurkan dirinya kepada perempuan manapun.
Kuyakinkan pula bahwa suara terengah-engah yang kerap kudengar dari
kamar ritualnya itu hanyalah halusinasiku belaka. Kadangkala, aku
sendiri berusaha membantah suara yang kudengar itu sebagai ekspresi dari
suatu kenikmatan birahi seorang lelaki yang tengah berpacu ke puncak
syahwatnya.
“Mungkin saja suara itu memang suatu keharusan yang
harus dilakukan Bang Marsan dalam ritualnya,” batinku. Dan sekian waktu
lamanya aku memendam kecurigaanku ini. Sampai pada akhirnya aku harus
menangis saat mendengar penjelasan Pak Haji Dasuki, sebutlah begitu,
seorang yang dikenal memiliki ilmu-ilmu gaib yang tinggal sekampung
denganku.
“Sepertinya Marsan, suamimu itu punya isteri gaib, Yati!” Kata Haji Dasuki yang sekaligus menyentakkan batinku.
“Isteri gaib bagaimana maksud Pak Haji?” Tanyaku sambil berusaha menekan perasaan.
Pak
Haji Dasuki yang sering mengobati orang kesurupan atau kerasukan setan
itu terlihat menegang wajahnya. Dengan agak bimbang dia kemudian
menjawab pertanyaanku, “Ini baru dugaanku saja. Aku kan belum tahu
persis bagaimana duduk persoalan yang sebenarnya. Oya, apakah setiap
malam suamimu itu melakukan ritual, Yati?”
“Tidak setiap malam sih, Pak Haji! Paling sering malam Jum’at dan malam Selasa,” jawabku.
“Terus di luar malam Jum’at dan malam Selasa, apa yang dilakukan oleh suamimu?” Pak Haji Dasuki kembali bertanya.
“Saya tidak tahu, Pak Haji! Yang pasti, Bang Marsan selalu pergi keluar rumah, dan dia baru pulang menjelang subuh.”
“Aneh, kemana perginya dia?”
“Itulah yang membuat saya bingung, Pak Haji!”
Pak
Haji Dasuki mengusap-usap janggutnya yang telah memutih. Tak ada lagi
pertanyaan atau nasehat yang disampaikannya kepadaku. Hari itu, dia
hanya memberikan segelas air putih yang di dalamnya terdapat selembar
sirih bertemu ruas. Air ini kemudian dipindahkan wadahnya ke dalam
sehelai kantung plastik.
“Ingat, air ini harus kau berikan pada
suamimu. Biarkan dia meminumnya!” Pesannya saat memberikan kantung
plastik berisi air putih yang telah diberi doa-doa itu. Sambil
memberikan uang ala kadarnya untuk penebus obat, akupun segera
berpamitan pulang.
Sesampainya di rumah, tentu saja aku bermaksud
melaksanakan pesan yang diperintahkan Haji Dasuki tersebut. Tetapi
anehnya, bungkusan air itu hilang dengan sendirinya. Padahal, aku baru
saja meletakkannya di atas meja makan dekat wadah penghangat nasi. Tentu
saja aku tak mungkin lupa, sebab ini baru berlalu kurang dari dua
menit. Aku meninggalkannya hanya untuk mengambil gelas besar yang biasa
kujadikan tempat air minum suamiku.
“Aneh, kok air itu bisa hilang
ya?” Batinku sambil menimang-nimang gelas kosong. Kepalaku nyaris pecah
memikirkannya. Kucari kemana-mana, tapi tetap saja tidak kutemukan
kantung plastik berisi air putih dengan sehelai daun sirih bertemu ruas
itu.
Aku juga menanyakannya kepada Alin, anak sulungku yang sudah
duduk di bangku kelas 3 SMP. Tapi, Alin menjawab tak pernah melihat
kantung plastik berisi air itu. Begitu pun dengan Fathan, anak bungsuku
yang sudah duduk di kelas 6 SD juga menjawab tak tahu.
Perlu
kujelaskan, dari pernikahanku dengan Bang Marsan, kami dikaruniai dua
orang anak, putra dan putri, yang masing-masing sudah tumbuh besar dan
sehat.
“Memangnya itu air apa sih, kok Mama sampai bingung begini?” Tanya Alin, ingin tahu.
“Air obat untuk ayah kalian!” Jawabku.
“Memangnya Ayah kenapa sih, Ma?” Kali ini yang bertanya adiknya, Fathan.
Sambil
menyembunyikan keresahan, dengan sabar kujelaskan kepada kedua anakku
bahwa Ayah mereka harus segera disadarkan dari keputusasaannya, sehingga
kembali menemukan gairah hidupnya. “Air itu dari Pak Haji Dasuki.
Beliau kan orang pintar di desa kita ini. Jadi, dengan minta doa dari
Pak Haji Dasuki, mudah-mudahan Ayah kalian segera sadar dan menemukan
semangat hidupnya lagi.”
Alin dan Fathan manggut-manggut tanda
mengerti. Memang, di mata mereka, Ayahnya yang dulu selalu rajin dan
penuh semangat itu telah berubah menjadi seorang yang pemalas dan
seperti kehilangan semangat hidup. Tak hanya itu, di mata kedua anaknya
Bang Marsan juga telah berubah menjadi sosok yang aneh sekaligus
menyeramkan.
Semua ini persisnya terjadi sejak Bang Marsan harus
di-PHK dari perusahaan yang selama hampir 15 tahun dia bekerja di
dalamnya. Malangnya lagi, uang pesangon yang nilainya cukup lumayan itu
harus lenyap entah kemana. Uang itu dirampok orang bersama mobil Suzuki
Katana kesayangan Bang Marsan. Peristiwanya terjadi ketika Bang Marsan,
yang hari itu aku temani, memarkir mobilnya di pasar Inpres dekat rumah
kami, sepulang dari mencairkan cek uang pesangonnya di Bank, dan kami
bermaksud membeli beberapa jenis bahan makanan untuk sekedar mengadakan
kenduri atau selamatan kecil atas cairnya uang pesangon yang sangat kami
nanti-nantikan itu.
Tetapi, kenyataan rupanya berbicara lain. Bukan
hanya uang bernilai puluhan juta itu yang harus raib, tetapi juga
satu-satunya kendaraan milik kami, sebab uang itu memang ditaruh Bang
Marsan di dalam laci dashbord Suzuki Katana yang dibelinya dengan
cucuran keringat.
Sejak peristiwa itu Bang Marsan memang berubah jadi
pemurung. Dia pasti sangat kecewa. Sampai sekitar 2 bulan sejak
peristiwa di hari naas itu terjadi, Bang Marsan berpamitan pergi
kepadaku. Katanya, dia ingin ziarah ke makam leluhurnya yang ada di
Pandeglang, Banten. Tanpa rasa curiga, tentu saja aku mengizinkannya.
Lima
hari kemudian Bang Marsan pulang dengan wajah murungnya yang telah
berubah ceria. Sepertinya, dia telah mendapatkan semangat baru. Benar
begitu? Entahlah! Aku tak pernah tahu pasti. Hanya saja ketika kutanya,
Bang Marsan menjawab begini, “Aku sudah menemukan jalan untuk
mengembalikan uang dan mobilku yang hilang itu. Sebentar lagi aku akan
jadi kaya.”
Bang Marsan seperti baru bangun dari mimpi indah. Ketika
kutanyakan, dari mana dia bisa mendapatkan kekayaan itu, dengan agak
bingung dia malah menjawab begini, “Pokoknya, kamu harus sabar, Ma!
Sejak hari ini, kau tak boleh banyak bertanya tentang apa saja yang aku
lakukan. Pokoknya, kamu jadi penonton saja. Ingat, semua ini demi
kebaikan kita. Ya, demi masa depan kita, juga Alin dan Fathan. Kamu
mengerti kan?”
“Iya, aku juga setuju dengan cita-citamu itu. Tapi bagaimana caranya?” Aku balik bertanya.
Bang
Marsan lalu mengeluarkan kantung kain hitam yang sudah kusam dan lusuh
dari dalam tasnya. “Dengan batu ajaib ini, Ma!” Katanya sambil
menunjukkan batu sekepalan tangan orang dewasa. Batu itu berwarna hitam
pekat, namun sepertinya menunjukkan rona kebiru-biruan yang sangat
terang berkilat.
Walau bingung, aku cuma bisa mengangguk, sebab aku
memang sudah tidak diberinya lagi kesempatan untuk bertanya. Ini memang
aneh, sebab biasanya Bang Marsan selalu mendiskusikan segala sesuatu
denganku hingga tuntas. Tetapi sekali ini dia sepertinya menyimpan
sebuah misteri. Entah apa? Yang jelas, sehari setelah kepulangannya dari
apa yang disebutnya sebagai “ziarah ke makam leluhurnya” itu, dia
memang mulai menunjukkan keanehannya. Seperti yang hari itu
dilakukannya. Tanpa bicara apa-apa, Bang Marsan menutup ventilasi atau
lobang angin pintu dan jendela kamar tengah, bahkan meminta agar kamar
itu dikosongkan.
“Memangnya mau kau apakan kamar itu, Mas?” Tanyaku dengan terheran-heran.
Bukannya
menjawab, Bang Marsan malah memelototiku. Lalu, dengan nada dingin dia
berkata begini, “Baru saja kemarin aku bilang agar kau jangan
sekali-kali bertanya tentang apa yang kulakukan. Kamu jadi penonton
saja. Yang penting bagaimana hasilnya nanti.”
Ah, bulu kudukku
merinding mendengar jawaban itu. Jelas sekali Bang Marsan menyembunyikan
sesuatu dariku. Entah apa, aku sendiri tak pernah tahu secara pasti.
Sikap
Bang Marsan memang aneh dan penuh Misteri sejak kepulangannya dari apa
yang disebutnya sebagai “ziarah ke makam leluhurnya” itu. Dia pendiam
dan berubah sangat pemalas. Setiap hari yang dikerjakannya hanya tidur
atau menyendiri di dalam kamar khusus itu, dan dia juga mulai jarang
mandi. Karuan saja anak-anak pun semakin jauh darinya….
***
Misteri hilangnya kantung plastik berisi air putih dan selembar daun sirih bertemu ruas itu akhirnya terjawab dua hari kemudian.
Ceritanya,
setelah kehilangan air obat untuk Bang Marsan, walau dengan rasa
sungkan dan malu aku kembali bertamu ke rumah Pak Haji Dasuki. Dengan
berat hati kuceritakan bahwa air itu belum sempat kuberikan kepada Bang
Marsan, sebab tumpah saat kantung plastik wadahnya kutaruh di atas meja.
Mendengar
cerita yang kukarang itu, Pak Haji Dasuki sepertinya percaya. Buktinya,
tanpa banyak pertanyaan dia kembali memberikan air yang sama padaku.
“Jangan
sampai kau tumpahkan lagi. Ingat itu, Yati!” Katanya saat memberikan
kantung plastik berisi air dan daun sirih bertemu ruas kepadaku.
Batinku
berdesir hebat, sebab dari sorot matanya sepertinya Pak Haji Dasuki
tahu kalau aku telah membohonginya. Kecurigaan ini semakin terasa
menguat ketika beliau menolak uang pemberianku.
“Kau berikan saja
kepada anak-anakmu. Untuk jajan mereka!” Katanya dengan nada kurang
senang. Keramahannya sepertinya telah hilang.
“Baiklah, terima kasih, Pak Haji!” Jawabku dengan wajah tertunduk.
Sambil
berusaha memupus ingatanku terhadap sikap Haji Dasuki, aku pun bergegas
pulang. Anehnya, sesampainya di rumah, Bang Marsan sudah menungguku di
depan pintu.
“Berikan air bikinan si Dasuki itu padaku, Yati!”
Pintanya, membuatku tersentak. Aneh, bagaimana dia bisa tahu kalau aku
baru pulang dari rumah Pak Haji Dasuki untuk meminta air?
“Apaan sih Abang ini. Aku barusan dari rumah Ibu,” jawabku sambil coba mengendalikan perasaan.
“Jangan bohong padaku, Yati. Ayo, berikan tasmu itu padaku!”
Kuberanikan
diri melihat wajah Bang Marsan yang sudah berubah tirus itu karena dia
memang jarang sekali makan nasi. Kulihat ekspresinya sangat datar. Aku
sepertinya bukan sedang berhadapan dengan sosok lelaki yang sudah begitu
akrab dan dekat denganku. Dan yang paling aneh, barusan tadi Bang
Marsan menyebut Pak Haji Dasuki dengan tanpa embel-embel apa pun.
Padahal setahuku dia sangat menghormati orang pandai dan berilmu itu.
Bahkan, bila bertemu dengan Pak Haji Dasuki, Bang Marsan selalu
menyapanya dengan takzim sambil tak lupa mencium telapak tangannya.
Lantas,
mengapa tadi Bang Marsan menyebutnya hanya dengan “Si Dasuki”? Dan,
apakah bukan suatu keanehan kalau tiba-tiba saja Bang Marsan tahu bahwa
aku baru saja pergi ke rumah Pak Haji Dasuki? Apakah dia mengikutiku?
Tidak mungkin, sebab saat pergi tadi dia masih mengunci diri di dalam
kamar khususnya. Andai pun dia mengikutiku, bagaimana mungkin dia bisa
tahu kalau aku membawa air dari Pak Haji Dasuki, padahal aku sudah
memasukkan air itu ke dalam tas kulitku sebelum keluar dari bilik tamu
Pak Haji?
Sebelum Bang Marsan yang nampak aneh itu meminta untuk
kedua kalinya, dengan tangan gemetar kusodorkan kantung plastik berisi
air dan selembar daun sirih bertemu ruas itu kepadanya. Secepat kilat
Bang Marsan menyambarnya, dan dengan secepat kilat pula dia membuangnya
lewat daun jendela yang terbuka.
“Ingat, jangan coba-coba minta air
kepada Si Dasuki atau siapapun orangnya, sebab aku akan mengetahuinya!”
Katanya seperti setengah mengancam. Dari sini aku gampang menduga bahwa
yang mencuri air pemberian Pak Haji Dasuki dua hari lalu pasti adalah
Bang Marsan sendiri. Entah dengan cara apa dia mencurinya. Aku memang
tak bisa memikirkannya lagi. Hanya, dari peristiwa ini aku mulai yakin
kalau Bang Marsan sepertinya sudah mempunyai sisi lain dalam hidupnya.
Ya, mungkin sisi yang berhubungan erat dengan dunia gaib.
Dan,
kegaiban itu semakin terasa di hari-hari selanjutnya. Bang Marsan
sepertinya semakin asing bagiku, juga bagi kedua anaknya. Hampir-hampir
tak ada komunikasi di antara kami, walau kami tetap tinggal satu rumah.
Anak-anak bahkan sudah mulai membenci Ayahnya, sebab baik Alin maupun
Fathan sering kali mendapat bentakkan bila menanyakan sesuatu kepada
Bang Marsan. Lambat laun, mereka pun semakin jauh dengan Ayahnya.
Yang
sangat mengiris perasaanku, Fathan yang masih lugu itu pernah bilang
bahwa dia lebih baik tidak mempunyai Ayah, daripada punya Ayah tapi
kerjanya hanya diam, dan sekali ditanya langsung membentak.
“Kenapa
Mama tidak suruh saja Ayah pergi. Fathan takut sama Ayah, Ma!” Isak
tangis Fathan ketika suatu hari mendapat bentakkan dari Ayahnya.
“Sabar
ya, Nak! Mungkin Ayah masih stress memikirkan mobil dan uangnya yang
banyak itu hilang. Kita harus doakan agar Ayah lekas sadar dan
mengikhlaskan semua itu,” bujukku sambil coba menahan linangan air mata.
Karena
tak tahan melihat perlakuan Bang Marsan terhadap anak-anak, suatu hari
aku memberanikan diri untuk menegurnya, “Apa sih salah anak-anak sampai
kamu harus berlaku kasar sama mereka? Fathan dan Alin itu kan nggak
ngerti apa-apa, Bang! Jadi tolong, berlaku sedikit lembutlah pada
mereka.”
Bukannya menjawab atau memberi respon, Bang Marsan malah
langsung pergi meninggalkanku. Dia kembali membenamkan dirinya ke dalam
kamar khusus yang seluruh ventilasinya sudah ditutup dengan triplek itu,
sehingga tak seorang pun bisa melihat ada apa di dalamnya. Aku sendiri
sangat penasaran dengan isi kamar tersebut, tapi entah dengan cara apa
aku bisa melihatnya. Bahkan, kunci kamar itu disembunyikan oleh Bang
Marsan.
Ayah dan Ibuku, adik serta kakakku, bahkan seluruh keluarga
baik dari pihakku maupun dari pihak Bang Marsan, memang telah menganggap
suamiku ini sudah gila. Sejak larut dalam ritual misterius yang
dilakukannya, tak pernah sekali pun Bang Marsan mau menemui keluarga dan
sanak saudara. Bahkan ketika Ibunya yang sudah tua itu datang untuk
menjenguknya, Bang Marsan sama sekali tidak mau menemuinya. Padahal,
satu-satunya orang tua yang masih dia miliki ini sudah rela menunggunya
dengan menginap di rumah kami selama dua malam berturut-turut. Sungguh
keterlaluan Bang Marsan! Lebih keterlaluan lagi, dia tak memberikan
alasan apa pun sekaitan dengan sikapnya ini.
Mungkin benar Bang
Marsan sudah senewen atau bahkan gila sekalian. Aku sudah kehabisan akal
memikirkannya. Belum lagi aku harus memikirkan bagaimana caranya bisa
mendapat uang agar kedua anakku bisa makan dan tetap sekolah dengan
baik. Hampir semua barang-barang berharga yang ada di rumah sudah kujual
habis, bahkan seluruh perhiasanku sudah ludes, termasuk kalung 20 gram
yang merupakan mas kawin pemberian Bang Marsan saat kami menikah 15
tahun silam. Masih untung ada beberapa keluarga yang peduli pada keadaan
yang kuhadapi. Dari kepedulian mereka inilah aku masih bisa membeli
beberapa liter beras dan lauk makan, juga biaya sekolah dan uang jajan
anak-anakku. Kalau tidak, entah apa jadinya kami semua.
Sementara
itu, Bang Marsan sudah tak peduli lagi dengan keadaan isteri dan kedua
anaknya. Bahkan, dia pun sepertinya sudah tak peduli dengan keadaan
dirinya sendiri. Bayangkan saja, tubuhnya yang dulu gemuk dan kekar itu
kini telah berubah seperti halnya tulang berbungkus kulit. Kurus kering!
Maklum saja, setiap hari yang dimakannya hanya beberapa potong singkong
atau ubi jalar dengan segelas air putih atau kopi. Entah dengan alasan
apa, Bang Marsan berpantang memakan nasi dan semua makanan yang berasal
dari barang bernyawa.
Jika diibaratkan, hidup Bang Marsan kini sudah
tak ubahnya seperti “orang-orangan.” Dia sama sekali telah kehilangan
jatidirinya. Hanya yang sering kali membuatku heran, hampir pada setiap
malam Jum’at dan malam Selasa, dari dalam kamar khususnya selalu saja
terdengar suara Bang Marsan yang merintih atau mendesah-desah seperti
seorang yang tengah berpacu dengan birahi. Entah apa yang terjadi? Hanya
yang jelas, aku sudah mempersetankan hal itu. Kalau dulu aku sempat
merasakan cemburu, ini semata mungkin karena aku masih mengharapkan Bang
Marsan bisa kembali menjalani kehidupan normal denganku. Tetapi harapan
itu lambat laun musnah, terkubur jauh di lubuk hatiku yang paling
dalam.
Orang bijak mengatakan, “Selalu ada setitik cahaya di tengah
kegelapan selagi engkau masih mengharapkan cahaya itu.” Setidaknya,
inilah yang kemudian kualami. Misteri yang menyelimuti kehidupan suamiku
selama hampir setahun ini akhirnya terkuak dengan sendirinya, walau aku
tetap saja berada dalam penjara kebingungan.
Dua bulan lalu sebelum
kuputuskan untuk menuliskan catatan hitam hidupku ini buat Misteri,
suatu siang aku kedatangan seorang tamu. Si tamu tak lain dan tak bukan
adalah Ahmad Yusuf, teman senasib dan sepenanggungan suamiku. Kusebut
begitu karena memang Ahmad Yusuf dulu adalah teman sekantor suamiku yang
sama-sama harus rela di-PHK karena perusahaan tempat mereka bekerja
kolap terbadai krisis ekonomi. Kedatangan Ahmad Yusuf inilah yang
setidaknya telah menguak misteri itu.
“Maafkan saya yang telah
membiarkan Mas Marsan sampai seperti ini, Mbak!” Cetusnya setelah
mendengar semua ceritaku tentang keadaan Bang Marsan. Kulihat dia begitu
sentimental, sampai-sampai harus menitikkan air matanya.
Sebelum aku sempat bertanya sesuatu padanya, sambil berusaha mengendalikan diri, Ahmad Yusuf lalu bercerita panjang lebar:
“Saya
juga turut andil terhadap semua keadaan ini, Mbak! Dulu, saya yang
mengajak Mas Marsan mengunjungi makam keramat Dewi Surthikanti di lereng
Bukit Argosonya. Kami sama-sama melakukan tirakat di sana. Setelah
semalaman kami bersemedi di makam tersebut, Mas Marsan-lah yang
mendapatkan batu ajaib itu. Kata juru kunci makam keramat Dewi
Surthikanti, batu itu dapat membuat siapa saja menjadi kaya raya, sebab
dia akan menjadi suami gaibnya Dewi Surthikanti.
Selama ini, saya
hanya menganggap hal itu sebagai omong kosong belaka. Saya sungguh tak
menyangka kalau ternyata semuanya akan terwujud dalam kenyataan yang
sesungguhnya.”
Batinku begitu tertekan dengan cerita tersebut.
“Kenapa selama ini Mas Yusuf tidak pernah menengok suami saya?” Tanyaku
dengan penuh sesal.
“Sejak kami sama-sama pergi ke Bukit Argosonya,
saya hanya sempat menetap di Bekasi selama beberapa minggu. Karena
bingung mencari pekerjaan, saya dan keluarga akhirnya memilih boyongan
pulang kampung, Mbak. Dengan alasan itu saya tidak pernah melihat
keluarga Mbak, khususnya berkaitan dengan Mas Marsan!” Jawab Ahmad Yusuf
sambil terus berusaha menyembunyikan penyesalan.
Keterangan Ahmad
Yusuf telah menguak misteri kehidupan Bang Marsan selama hampir setahun
ini. Rupanya dugaan Pak Haji Dasuki memang benar bahwa suamiku ternyata
memiliki isteri gaib, dan isteri gaibnya itu adalah apa yang disebut
Ahmad Yusuf sebagai Dewi Surthikanti.
Tentang batu ajaib yang
disebutkan oleh Ahmad Yusuf itu juga pernah diperlihatkan oleh Bang
Marsan saat kepulangannya setelah dia pergi selama 5 hari. Jelas sekali
Bang Marsan berbohong sekaitan dengan kepergiannya itu. Dia bukannya
berziarah ke makam leluhurnya yang katanya ada di Pandeglang sana, akan
tetapi dia pergi bersama Ahmad Yusuf ke makam keramat Dewi Surthikanti
yang disebutkan berada di Bukit Argosonya itu. Kata Ahmad Yusuf, bukit
keramat ini sesungguhnya masih termasuk wilayah Gunung Arjuna. Hanya
saja, amat jarang diketahui letak persisnya, kecuali oleh orang-orang
tertentu.
“Sekarang aku sudah kehabisan akal bagaimana cara
menyadarkan Bang Marsan. Kau lihat sendiri bagaimana kehidupan kami,
bukan? Semua barang-barang di rumah ini sudah habis Mbak jual untuk
biaya hidup kami sehari-hari,” paparku dengan air mata berlinang.
Ahmad
Yusuf sendiri kelihatan bingung dan tertekan setelah mengetahui
bagaimana keadaan Bang Marsan lewat ceritaku. Di tengah kebingungan
itulah akhirnya dia mengusulkan agar aku coba menuliskan kisah pahitku
ini untuk Rubrik Catatan Hitam di majalah kesayangan ini. Apalagi, Ahmad
Yusuf mengatakan ada salah seorang rekannya yang berhasil keluar dari
problem bernuansa gaib setelah menuliskan kisahnya dan mendapatkan
solusi dari pengasuh rubrik ini.
Mendengar kesaksian Ahmad Yusuf,
akhirnya kucoba menuliskan kisahku ini walau dengan bahasa dan kata-kata
yang mungkin tidak sempurna, sebab aku memanglah bukan seorang penulis
profesional. Namun yang pasti, lewat penuturanku ini, aku sangat
berharap agar kiranya pengasuh dapat memberikan solusi dan
pertimbangannya. Ya, semoga kiranya Allah SWT meridhoi harapanku ini!
Istiyati – Purwakarta, Jawa Barat.
KESAKSIAN
Di
tengah situasi tekanan ekonomi seperti sekarang ini, memang banyak
orang yang terjerumus ke dalam lembah kedurhakaan. Demi kekayaan dan
kemudahan hidup di dunia, orang-orang itu bahkan sampai rela
menggadaikan akidah dan keimanannya. Nauzubillahi min dzalik! Tentu saja
kita berharap agar kemurtadan semacam ini tidak menimpa diri, keluarga,
sahabat, dan orang-orang yang dekat dengan kita.
Membaca testimoni
yang anda goreskan, saya sendiri belum bisa mengambil kesimpulan apakah
suami anda dapat dimasukkan ke dalam golongan orang-orang seperti yang
saya sebutkan di muka. Mudah-mudahan saja tidak demikian. Kalau pun
benar, kita sama-sama berharap agar sedapat mungkin bisa menyadarkannya
kembali, sehingga suami anda dapat kembali menjalani kehidupan yang
benar menurut tuntunan agama.
Dari situasi dan kondisi yang anda
gambarkan, memang sangat mungkin suami berada dalam pengaruh atau
kontrol sebentuk kekuatan gaib yang bersifat menjerumuskan, yang jelas
sekali berasal dari setan atau jin kafir. Karena itu, sebagai solusi
untuk menetralisir kekuatan tersebut dari diri suami anda, maka kiranya
bisa dilakukan dengan amalan berikut ini:
Bacalah surat Al Fatihah
sebanyak 41 kali setiap ba’da sholat Magrib selama 7 hari berturut-turut
tanpa henti/terputus. Setelah memasuki hari yang ke 7, sesudah membaca
41 kali Al Fatihah, maka tiupkanlah ke semangkuk garam dapur yang sudah
anda persiapkan sebelumnya. Taburkanlah garam ini di sudut-sudut ruangan
rumah anda, wabil khusus pada sudut-sudut dekat dengan apa yang anda
sebutkan sebagai “kamar khusus” itu.
Dengan cara tersebut, Insya
Allah jin yang mempengaruhi suami Anda akan merasakan suatu keadaan yang
tidak nyaman, bahkan menyiksa buat dirinya, sehingga pada gilirannya
dia akan pergi. Yang terpenting, anda harus mengulangi amalan ini secara
terus menerus, sampai suami anda menemukan kesadaran dan jatidirinya
kembali.
Sebagai amalan tambahan yang dikhususkan untuk melindungi
diri anda, juga kedua anak anda dari pengaruh setan atau jin jahat itu,
maka saya sarankan untuk membaca Ayat Kursi pada setiap permulaan siang
(waktu dhuha) dan di setiap permulaan malam (menjelang Magrib).
Lakukanlah amalan ini secara kontinyu dan tidak terputus-putus. Insya
Allah anda dan anak-anak akan terhindar dari pengaruh kekuatan iblis
yang kini tengah mengancam suami anda.
Ingat, istiqomah dan wirid
merupakan perbuatan mulia yang selalu mendapatkan keridhoan dari Allah
SWT. Karena itu, besar harapan saya agar anda secara sungguh-sungguh
menjalankan kedua amalan di atas. Walau sepertinya sederhana, tapi Insya
Allah hasilnya akan segera anda rasakan. Semoga Allah SWT meridhoiNya.
Amin ya robbal alamiin…!
SUAMIKU BERISTRI JIN
Related Posts
Blog, Updated at: 10:21 PM
0 comments:
Post a Comment